JUAL DAUN BIDARA UNTUK MANDI

jual daun bidara
JUAL DAUN BIDARA UNTUK MANDI. KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

JUAL DAUN BIDARA: 3. Mandi


a. Hal-Hal Yang Mewajibkannya:

1. Keluar mani, baik saat terjaga ataupun tidur

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.

“Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan air (keluarnya mani)” [1]

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma, berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika mimpi bersetubuh?” Beliau berkata, “Ya, jika dia melihat air.” [2]

Khusus dalam keadaan terjaga disyaratkan adanya syahwat, sedangkan pada tidur tidak disyaratkan.

Berdasarkan sabda beliau:

إِذَا حَذَفَتِ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ, فَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ.

“Jika engkau memancarkan air (mani), maka mandilah karena junub. Jika tidak memancarkannya, maka engkau tidak wajib mandi.”[3]

Asy-Syaukani berkata, [4] “Memancarkan adalah melontarkan. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali disebabkan syahwat. Karena itulah penulis berkata, “Di sini terdapat peringatan terhadap apa yang keluar dengan tidak disertai syahwat. Mungkin karena sakit atau hawa dingin, yang semua itu tidak mewajibkan mandi.”

Barangsiapa mimpi bersetubuh dan tidak melihat adanya air mani, maka dia tidak wajib mandi. Dan barangsiapa melihat air mani, sedangkan dia tidak ingat apakah dia mimpi bersetubuh, maka dia tetap wajib mandi.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati basah (bekas air mani) sedangkan dia tidak ingat apakah ia mimpi bersetubuh. Beliau menjawab, ‘Dia wajib mandi.’ Dan tentang seorang laki-laki yang mimpi bersetubuh namun tidak mendapati basah (bekas air mani). Beliau menjawab, ‘Dia tidak wajib mandi’.” [5]

2. Jima’, walaupun tidak keluar air mani
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ.

“Jika ia telah duduk di antara keempat cabang istrinya, kemudian ia membuatnya kepayahan (kiasan untuk bersetubuh), maka ia wajib mandi. Meskipun tidak keluar air mani.” [6]

3. Masuk Islamnya orang kafir
Dari Qais bin ‘Ashim, ia menceritakan bahwa ketika masuk Islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya mandi dengan air dan bidara. [7]

4. Terputusnya haidh dan nifas
Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Abi Khubaisy:

إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِـي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي.

“Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah lewat, maka mandi dan shalatlah.” [8]

Nifas dan haidh dihukumi sama secara ijma’.

5. Hari Jum’at
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ.

“Mandi hari Jum’at wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” [9]

b. Rukun-Rukunnya:
1. Niat
Berdasarkan hadits:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya.”

2. Meratakan air pada sekujur badan.

c. Tata Cara Yang Disunnahkan Ketika Mandi
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mandi janabah (junub), beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya lalu membasuh kemaluannya. Lantas berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat. Lalau beliau mengambil air dan memasukkan jari-jemarinya ke pangkal rambut. Hingga jika beliau menganggap telah cukup, beliau tuangkan ke atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan. Setelah itu beliau guyur seluruh badannya. Kemudian beliau basuh kedua kakinya.” [10]

Catatan:
Tidak wajib bagi seorang wanita mengurai rambutnya ketika mandi janabah (junub). Namun wajib dilakukan ketika mandi sehabis haidh.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita berkepang dengan kepangan yang sulit diurai. Apakah aku harus mengurainya ketika mandi janabah? Beliau berkata:

لاَ، إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تَفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ.

“Tidak, cukuplah engkau tuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali. Kemudian guyurkan air ke seluruh tubuhmu. Maka, sucilah engkau.” [11]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asma’ bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi setelah selesai haidh. Beliau lalu bersabda, “Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil air dan bidaranya lalu bersuci (yaitu berwudhu menurut penafsiran sejumlah ulama’, sebagaimana tata cara mandi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -ed.) dengan sebaik-baiknya. Kemudian mengucurkannya ke atas kepala dan menguceknya kuat-kuat hingga ke pangkal kepalanya. Lantas mengguyur seluruh badannya dengan air. Setelah itu hendaklah ia mengambil secarik kapas yang diberi minyak misk, lalu bersuci dengannya.” Asma’ berkata, “Bagaimana cara dia bersuci dengannya?” Beliau berkata: “Subhaanallaah, bersucilah dengannya.” ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata sambil seolah berbisik, “Ikutilah bekas-bekas darah itu dengannya.”

Dan aku (Asma’) bertanya lagi kepada beliau tentang mandi (junub) janabah. Beliau lalu bersabda:

تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءً فَتَطَهَّرَ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ أَوْ تَبْلُغُ الطُّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَفِيْضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ.

“Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil air lalu bersuci (yaitu berwudhu menurut penafsiran sejumlah ulama’-ed.) dengan sebaik-baiknya atau menyempurnakannya. Kemudian menuangkan air ke atas kepala dan menguceknya sampai ke dasar kepala. Setelah itu mengguyurkan air ke seluruh badannya.” [12]

Dalam hadits ini terdapat perbedaan jelas antara mandinya wanita karena haidh dan karena (junub) janabah. Yaitu ditekankannya pada wanita yang haidh agar bersuci dan mengucek dengan kuat dan sungguh-sungguh. Sedangkan pada mandi janabah tidak ditekankan hal tersebut. Dan hadits Ummu Salamah adalah dalil bagi tidak wajibnya mengurai rambut saat mandi janabah. [13]

Tujuan mengurai rambut adalah untuk meyakinkan sampainya air hingga ke dasar rambut. Hanya saja pada mandi (junub) janabah masih ditolerir. Karena seringnya dilakukan serta adanya kesulitan yang sangat ketika mengurainya. Lain halnya dengan mandi haidh yang hanya terjadi setiap sebulan sekali.

Catatan:
Diperbolehkan bagi suami isteri untuk mandi bersama dalam satu tempat. Diperbolehkan juga bagi masing-masing untuk melihat aurat pasangannya.

Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ.

“Aku dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari satu bejana. Kami berdua dalam keadaan junub.” [14]

d. Mandi-Mandi Yang Disunnahkan:

1. Mandi pada setiap selesai jima’
Berdasarkan hadits Abu Rafi’: “Pada suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggilir isteri-isterinya. Beliau mandi setiap selesai dari fulanah dan dari si fulanah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda tidak mandi sekali saja?” Beliau berkata, “Yang seperti ini lebih suci, lebih baik, dan lebih bersih.” [15]

2. Mandinya wanita mustahadhah (yang sedang haidh) setiap akan shalat
Atau sekali mandi untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar. Juga sekali mandi untuk shalat Maghrib dan ‘Isya’. Serta untuk Shubuh sekali mandi.

Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Sesungguhnya Ummu Habibah istihadhah pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. lalu Beliau menyuruhnya mandi pada setiap akan shalat…” [16]

Dan dalam satu riwayat lain dari ‘Aisyah, ia berkata, “Seorang wanita istihadhah pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia disuruh memajukan ‘Ashar dan mengakhirkan Zhuhur, serta mandi satu kali untuk keduanya. Juga mengakhirkan Maghrib dan memajukan ‘Isya’, serta mandi satu kali untuk keduanya. Dan mandi satu kali untuk shalat Shubuh. [17]

3. Mandi setelah pingsan
Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit parah. Beliau lalu berkata, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’ Kami berkata, ‘Belum, mereka menunggu Anda, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Letakkanlah air di bejana untukku.’ Kami pun melakukannya. Beliau lalu mandi lantas bangkit dengan semangat. Namun beliau pingsan lagi, lalu tersadar dan berkata, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’ Kami berkata, ‘Belum. Mereka menunggu Anda, wahai Rasulullah.'” ‘Aisyah lalu menyebutkan penisbatan hadits ini ke Abu Bakar dan kelanjutannya. [18]

4. Mandi setelah menguburkan orang musyrik
Berdasarkan hadits ‘Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu. Dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan berkata, “Sesungguhnya Abu Thalib telah meninggal dunia.” Beliau berkata, “Pergi dan kuburkan dia.” Ketika aku telah menguburkannya, aku kembali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Mandilah.” [19]

5. Mandi pada dua hari raya dan hari ‘Arafah
Berdasarkan riwayat al-Baihaqi dari jalur asy-Syafi’i dari Zadzan. Dia mengatakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali Radhiyallahu anhu tentang mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah tiap hari jika kau suka.” Dia berkata, “Bukan, maksud saya mandi yang benar-benar mandi (yang disyari’atkan dalam agama-pent).” Dia berkata, “(Mandi) hari jum’at, hari ‘Arafah, hari raya Qurban, dan hari ‘Idul Fithri.”

6. Mandi setelah memandikan mayat
Berdasarkan sabda beliau:

مَنْ غَسَّلَ مَيْتاً فَلْيَغْتَسِلْ.

“Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi.” [20]

7. Mandi untuk ihram ‘umrah atau haji
Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, “Dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian berjahit dan mengenakan pakaian ihram) serta mandi untuk ihram.” [21]

8. Mandi ketika memasuki kota Makkah
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa dia tidak mendatangi Makkah kecuali bermalam di Dzu Thuwa hingga datang pagi dan dia pun mandi. Kemudian dia memasuki Makkah pada siang hari. Dia menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya. [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/228 no. 130)], Shahiih Muslim (I/251 no. 313), dan Sunan at-Tirmidzi (I/80 no. 122).
[2]. Sanadnya hasan shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (I/162)] dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (I/247 no. 82).
[3]. Nailul Authaar (I/275).
[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 216)], Sunan at-Tirmidzi (I/74 no. 113), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/399 no. 233).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 152)] dan Shahiih Muslim (I/271 no. 348).
[6]. Shahih: [Irwaa’ al-Ghaliil (no. 128)], Sunan an-Nasa-i (I/109), Sunan at-Tirmidzi (II/58 no. 602), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/19 no. 351).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/420 no. 320)], Shahiih Muslim (I/262 no. 333), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/466 no. 279), dan Sunan at-Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan an-Nasa-i (I/186), lafazh mereka selain al-Bukhari adalah: … “Maka cucilah darah itu darimu.”
[8]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (357/2 no. 879)], Shahiih Muslim (II/580 no. 346), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/4, 5 no. 337), Sunan an-Nasa-i (III/93), dan Sunan Ibni Majah (I/346 no. 1089).
[9]. Muttafaq ‘alaihi.
[10]. hahih: [Irwaa’ al-Ghaliil (no. 136)], Shahiih Muslim (I/259 no. 330), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/426 no. 248), Sunan an-Nasa-i (I/131), Sunan at-Tirmidzi (I/71 no. 105), dan Sunan Ibni Majah (I/198 no. 603).
[11]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 172)] dan Shahiih Muslim (I/261 no. 332 (61)).
[12]. Tahdziib Sunan Abi Dawud, karya Ibnul Qayyim (I/167 no. 166) dengan pengubahan.
[13]. Tahdziib Sunan Abi Dawud, karya Ibnul Qayyim (I/167 no. 166) dengan pengubahan.
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/256 no. 321)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/374 no. 263), dan Sunan an-Nasa-i (I/129).
[15]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 480)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (1370 no. 216), dan Sunan Ibni Majah (I/194 no. 590).
[16]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 269)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/483 no. 289).
[17]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 273)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/487 no. 291), dan Sunan an-Nasa-i (I/184).
[18]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/311 no. 418)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/172 no. 687).
[19]. Sanadnya Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz (134)], Sunan an-Nasa-i (I/110), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IX/32 no. 3198).
[20]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1195)] dan Sunan Ibni Majah (I/470 no. 1463).
[21]. Hasan: [Irwaa’ al-Ghaliil (no. 149)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/163 no. 831).
[22]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (II/919 no. 1259 (227))], ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/435 no. 1573), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (V/318 no. 1848), dan Sunan at-Tirmidzi (II/172 no. 854).

Sumber: almanhaj dot or dot id

Baca juga artikel daun bidara dan pengobatan sihir.

Demikianlah artikel tentang jual daun bidara untuk mandi.

KEGUNAAN DAUN BIDARA DAN CARA PENGOBATAN DARI PENGARUH SIHIR DAN KESURUPAN JIN (3)

kegunaan daun bidara
Kegunaan daun bidara dan Cara Pengobatan Dari Pengaruh Sihir Dan Kesurupan Jin (3). Di antara upaya pencegahan adalah dengan menjaga dan memelihara semua kewajiban dan menjauhi segala larangan, taubat dari segala macam kesalahan dan dosa.

Kegunaan daun bidara dan Pengobatan terhadap kesurupan jin


Pengobatan terhadap orang yang kesurupan jin mempunyai dua bagian:
a) Pencegahan kesurupan

Di antara upaya pencegahan adalah dengan menjaga dan memelihara semua kewajiban dan menjauhi segala larangan, taubat dari segala macam kesalahan dan dosa, juga membentengi diri dengan beberapa dzikir doa, dan ta’awudz (doa perlindungan) yang disyariatkan.
b) Pengobatan kesurupan

Yaitu dengan cara seorang Muslim -yang hatinya sejalan dengan lisan dan ruqyahnya- membacakan bacaan bagi orang yang kesurupan. Dan pengobatan dengan ruqyah yang paling ampuh adalah dengan surat Al Fatihah [1], ayat Kursi, dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah, Qul Huwallahu Ahad (surat Al Ikhlash), Qul A’udzubirabbil Falaq (surat Al Falaq), dan Qul A’udzubirabbin Naas (surat An Naas), dengan memberikan tiupan pada orang yang kesurupan dan mengulangi bacaan tersebut sebanyak tiga kali atau lebih, dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya. Sebab seluruh isi Al Qur’an adalah penyembuh bagi apa saja yang ada di dalam hati, penyembuh, petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman [2]. Serta doa-doa ruqyah seperti yang dijelaskan pada cara kedua dari pengobatan sihir (simak di artikel bagian 1 dan bagian 2).

Dalam pengobatan ini diperlukan adanya dua hal, yaitu:

Dari pihak orang yang kesurupan jin, yakni berkaitan dengan kekuatan dirinya, kejujuran tawajjuh-nya (menghadap) kepada Allah, ta’awudz yang benar yang sejalan antara hati dan lisannya.
Dari sisi orang yang berupaya mengobati, dimana dia pun harus demikian, karena senjata yang dipergunakan itu minimal harus seimbang dengan senjata lawan.

***
Catatan kaki

[1] Lihat Sunan Abi Dawud (no. 3420, 3896, 3897, 3901), Musnad Ahmad (V/210-211) dan lainnya dari pamannya Kharijah bin Ash Shalt radhiallahu’ahu. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 2027).

[2] Lihat Al Fathur Rabbani, Tartiibu Musnad Al Imam Ahmad (XVII/183).



Disalin ulang dari buku “Doa dan Wirid” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, hal. 458-460, cetakan ke-15, penerbit Pustaka Imam Syafi’i.

Artikel Muslim dot or dot id

Demikianlah kegunaan daun bidara dan cara pengobatan dari pengaruh sihir dan kesurupan jin.

MANFAAT DAUN BIDARA YANG LAINNYA

manfaat daun bidara
Manfaat daun bidara yang lainnya. Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du. Rukun mandi besar ada dua:

1) Niat melakukan mandi besar, sesuai latar belakang dia melakukan mandi. Jika dia mandi besar karena junub, maka dia berniat mandi untuk menghilagkan hadats besar. Dan jika dia mandi besar untuk jumatan, maka dia berniat mandi hari jumat.

2) Membasahi seluruh badan dengan air, dari ujung rambut kepala sampai ujung kaki.

(al-Wajiz fi Fiqh as-Sunah, hlm. 51).

Mengenai tata cara membasahi seluruh badan dengan air, ada riwayat dari Aisyah dan Maimunah yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi. Selengkapnya bisa anda pelajari di: Cara Mandi Wajib

Dalam penjelasannya, Aisyah mengatakan,

ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh badannya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Demikian pula yang diceritakan Maimunah. Beliau mengatakan,

ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Selanjutnya, beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

MANFAAT DAUN BIDARA UNTUK MANDI


Dalam hadis di atas, tidak ada penjelasan mengenai alat pembersih yang digunakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti daun bidara. Karena itu, bukan syarat mandi wajib, harus menggunakan sabun atau shampo.

Lajnah Daimah – lembaga fatwa Saudi – pernah ditanya menyenai hukum menggunakan sabun atau alat pembersih lainnya ketika mandi besar.

Jawaban Lajnah,

يجب الغسل من الجنابة بالماء ولا يجب فيه استعمال المنظفات كالصابون ونحوه وهذا هو الذي دلت عليه سنة النبي صلى الله عليه وسلم . وإن استعمل الصابون أو نحوه ، من المنظفات فلا بأس

Yang wajib ketika mandi junub adalah menggunakan air, dan tidak wajib menggunakan alat pembersih seperti sabun atau semacamnya. Demikian seperti yang dijelaskan dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun ketika seseorang menggunakan sabun atau alat pembersih lainnya , hukumnya dibolehkan. (Fatawa Lajnah Daimah, 5/315).

Kesimpulannya:

Mandi junub boleh dilakukan tanpa sabun maupun shampo, dengan syarat semua anggota tubuh basah.

Allahu a’lam. Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah dot com)

Baca juga artikel lainnya yakni Daun bidara dan pengobatan sihir.

Atau artikel Daun bidara adalah daun sidratul muntaha.

Inilah manfaat daun bidara lainnya yakni untuk mandi.

GAMBAR DAUN BIDARA DAN CARA PENGOBATAN DARI PENGARUH SIHIR DAN KESURUPAN JIN (2)

gambar daun bidara
Gambar daun bidara, dan akan dibahas juga tentang pemanfaatan daun bidara secara Islami dalam Cara Pengobatan Dari Pengaruh Sihir Dan Kesurupan Jin (2). Pengobatan sihir yang sudah menimpa pada diri seseorang bisa dilakukan dengan tiupan dan sentuhan atau dengan doa-doa ta'awudz.

2. Dengan tiupan dan sentuhan

Membaca surat Al Fatihah, ayat Kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, surat Al Falaq, dan surat An Naas sebanyak tiga kali atau lebih, disertai tiupan dan sentuhan pada bagian yang terasa sakit dengan menggunakan tangan kanan [1].
3. Membaca dzikir dan doa ruqyah

Membaca beberapa ta’awwudz, ruqyah, dan doa yang mencakup:

a) Membaca doa berikut:

أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، أَنْ يَشْفِيَكَ

“Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu” (Diucapkan sebanyak 7x)[2]

b) Orang yang sakit meletakkan tangannya diatas bagian yang sakit seraya mengucapkan:

بِسْمِ اللَّهِ

“dengan menyebut nama Allah” (dibaca 3x)

Kemudian mengucapkan:

أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِن شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحاذِرُ

“Aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya dari kejahatan apa yang aku temui dan yang aku khawatirkan” (dibaca 7x)[3]

c) Membaca doa (sambil mengusapkan tangan kanan kepada orang yang sakit) :

اللَّهُمَّ ربَّ النَّاسِ ، أَذْهِب الْبَأسَ ، واشْفِ ، أَنْتَ الشَّافي لا شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفاءً لا يُغَادِرُ سقَماً

“Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan hanya kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit sedikit pun” [4]

d) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لامَّةٍ

“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap syaithan, binatang berbisa, dan dari setiap mata yang jahat” [5].

e) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya” [6]

f) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِماتِ اللّه التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَمنْ شَرّ عِبادِهِ، وَمِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ وأنْ يَحْضرُونِ

“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari godaan syaithan, dan dari kedatangan mereka kepadaku”. [7]

g) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمِنْ كُلِّ طَارِقٍ، إِلاَّ طَارِقٍ يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَـٰنُ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna yang tidak dapat ditembus oleh orang baik maupun orang jahat, dari kejahatan apa yang telah Dia jadikan dan Dia ciptakan. Serta dari kejahatan yang turun dari langit, dari kejahatan yang naik ke langit, dari kejahatan yang tenggelam ke bumi, dari kejahatan yang keluar ke bumi, dari kejahatan fitnah malam dan siang, dan dari kejahatan setiap yang datang (di waktu malam), kecuali yang datang dengan tujuan baik, wahai Rabb Yang Maha Pemurah” [8].

h) Membaca doa:

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

“Ya Allah, Rabb langit yang tujuh, Rabb bumi dan Rabb ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu, Pembelah biji dan benih, Yang menurunkan Taurat, Injil dan al Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang. Engkau lah yang memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Dan Engkau-lah yang zhahir, sehingga tiada sesuatu pun yang mengungguli-Mu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari-Mu. Lunasilah hutang kami dan cukupilah kami hingga terhindar dari kefakiran” [9].

i) Membaca doa:

بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ

“Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan setiap jiwa dan mata orang yang dengki. Mudah-mudahan Allah menyembuhkanmu. Dengan menyebut nama Allah, aku mengobatimu dengan meruqyahmu” [10]

Atau membaca doa:

بِاسْمِ اللهِ يُبْرِيكَ، وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيكَ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ، وَشَرِّ كُلِّ ذِي عَيْنٍ

“Dengan menyebut nama Allah, mudah-mudahan Dia membebaskan dirimu dari segala penyakit, mudah-mudahan Dia akan menyembuhkanmu, melindungimu dari kejahatan orang dengki jika dia mendengki dan dari kejahatan setiap orang yang mempunyai mata jahat” [11]

Atau membaca doa:

بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ حَسَدِ حَاسِدٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ

“Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kedengkian orang yang dengki dan dari kejahatan setiap orang yang mempunyai mata jahat. Mudah-mudahan Allah menyembuhkanmu” [12]

Semua ta’awudz (doa perlindungan), doa dan ruqyah tersebut dapat dipergunakan untuk mengobati sihir, kesurupan jin, dan semua macam penyakit. Sebab ia merupakan ruqyah yang lengkap dan sangat bermanfaat dengan izin Allah Ta’ala.
4. Berbekam

Mengeluarkan penyakit dengan melakukan pembekaman pada bagian yang tampak bekas sihir, hal itu jika dimungkinkan. Tetapi jika tidak mungkin, maka cukup dengan penyembuhan cara sebelumnya. Walhamdulillah [13].
5. Dengan obat-obat alami

GAMBAR DAUN BIDARA SEBAGAI OBAT ALAMI YANG HALAL


Di dunia ini terdapat beberapa obat alami yang sangat bermanfaat yang ditunjukkan olah Al Qur’an dan As Sunnah. Jika seseorang menggunakannya dengan penuh keyakinan dan kejujuran disertai keyakinan bahwa manfaat itu hanya dari Allah, maka Allah akan memberikan manfaat padanya, jika Dia menghendaki. Di sana terdapat obat yang dikombinasi dari rerumputan dan sejenisnya, yang semuanya itu didasarkan pada pengalaman sehingga tidak ada larangan untuk memanfaatkannya menurut syariat selama tidak diharamkan[14].

Diantara pengobatan dan penyembuhan alami yang sangat bermanfaat dengan izin Allah Ta’ala adalah menggunakan madu, habbatus sauda (jintan hitam), air zamzam, dan air hujan. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا

“Dan dari langit Kami turunkan air yang diberkahi (banyak manfaatnya)…” (QS. Qaaf: 9).

Juga minyak zaitun. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

كُلُوا الزَّيْتَ، وَادَّهِنُوا بِالزَّيْتِ، فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Makanlah oleh kalian minyak (zaitun) dan poleskanlah dengannya, karena sesungguhnya minyak (zaitun) itu dari pohon yang diberkahi” [15]

Telah terbukti melalui pengalaman, praktek langsung serta melalui kepustakaan, bahwa ia merupakan minyak yang paling bagus [16].

Dan di antara obat alami lainnya adalah: mandi, membersihkan diri, dan memakai wangi-wangian.

***


Catatan kaki

[1] Lihat Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari (IX/62 dan X/208) dan Shahih Muslim (no. 2192 (50-51)).

[2[ Shahih. HR. At Tirmidzi (no. 2083), Abu Dawud (no. 3106) dan Al Hakim (IV/416) dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu. Lihat Shahih Al Jami’ish Shaghir (no. 6388).

[3] Shahih. HR. Muslim (no. 2202 (67)), dari Utsman bin Abil Ash Ats Tsaqafi radhiallahu’anhu

[4] Shahih. HR. Al Bukhari (no. 5743), dan Muslim (no. 2191 (46-49)), dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, lafazh ini milik Al Bukhari.

[5] Shahih. HR. Al Bukhari (no. 3371), dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.

[6] Shahih. HR. Muslim (no. 2708)

[7] Hasan. HR. Abu Dawud (no. 3893) dan At Tirmidzi (no. 3528).

[8] Hasan. Hr. Ahmad (III/419) dan Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 637). Lihat Majmauz Zawaid (X/127) dan Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 2995)

[9] Shahih. HR. Muslim (no. 2713 (61, 63)) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu.

[10] Shahih. HR. Muslim (no. 2186 (40)) dari Abu Sa’id radhiallahu’anhu.

[11] Shahih. HR. Muslim (no. 2185 (39)) dari Aisyah radhiallahu’anha.

[12] Hasan. HR. Ibnu Majah (no. 3527) dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu’anhu.

[13] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/125). Dan di sana masih terdapat beberapa macam pengobatan sihir yang lain setelah kejadiannya, jika dicoba maka bermanfaat. Lihat juga Mushannaf Ibni Abi Syaibah (VII/386-287), Fathul Baari (X/233-234), Mushannaf Abdirrazzaq (XI/13), ash Shaarimul Battar (hal. 194-200), dan Ash Sihru Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karya Dr. Misfir Ad Damini (hal. 64-66).

[14] Lihat Fathul Haqqil Mubiin fii ‘Ilaajisy Syar’i was Sihri wal ‘Ain (hal. 139)

[15] Hasan li ghairihi. HR. Ahmad (III/497), At Tirmidzi (no. 1851, 1852), dan Ibnu Majah (no. 3319). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 379).

[16] Lihat Fathul Haqqil Mubiin fii ‘Ilaajisy Syar’i was Sihri wal ‘Ain (hal. 140-145).



Disalin ulang dari buku “Doa dan Wirid” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, hal. 439-449, cetakan ke-15, penerbit Pustaka Imam Syafi’i.

Artikel Muslim dot or dot id

Artikel ini memuat gambar daun bidara dan cara pengobatan dari pengaruh sihir dan kesurupan jin.

KHASIAT DAUN BIDARA DAN CARA PENGOBATAN DARI PENGARUH SIHIR DAN KESURUPAN JIN (1)

khasiat daun bidara
Khasiat daun bidara adalah salah satunya sebagai sarana dalam Cara Pengobatan Dari Pengaruh Sihir Dan Kesurupan Jin (1). Pengobatan sihir yang sudah menimpa pada diri seseorang bisa dilakukan dengan beberapa cara:

Cara pertama

Mengeluarkan sihir tersebut dan menggagalkannya jika diketahui tempatnya dengan cara-cara yang dibolehkan menurut syariat. Dan ini merupakan suatu hal yang paling manjur untuk pengobatan orang yang terkena sihir [1].
Cara kedua

KHASIAT DAUN BIDARA DALAM RUQYAH SYAR'IYYAH


Menggunakan ruqyah yang sesuai dengan syariat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ruqyah dengan daun bidara

Menumbuk tujuh helai daun pohon sidr (daun bidara) hijau di antara dua batu atau sejenisnya, lalu menyiramkan air ke atasnya sebanyak jumlah air yang cukup untuk mandi dan dibacakan ke dalamnya:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“ِAku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk“

اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah: 255).

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ فَغُلِبُوا هُنَالِكَ وَانْقَلَبُوا صَاغِرِينَ وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ

“Dan Kami wahyukan kepada Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”. Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.” (QS. Al A’raf: 117-122).

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ائْتُونِي بِكُلِّ سَاحِرٍ عَلِيمٍ فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالَ لَهُمْ مُوسَى أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَى مَا جِئْتُمْ بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ

“Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): “Datangkanlah kepadaku semua ahli-ahli sihir yang pandai!” Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: “Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan”. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: “Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidak benarannya” Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus: 79-82).

قَالُوا يَا مُوسَى إِمَّا أَنْ تُلْقِيَ وَإِمَّا أَنْ نَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَلْقَى قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى

“(Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: “Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?”. Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan”. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berkata: “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”. Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa”.” (QS. Thaha: 65-70).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. an aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.” (QS. Al Kafirun: 1-6).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.” (QS. Al Ikhlash: 1-4).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.” (QS. Al Falaq: 1-5).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلَهِ النَّاسِ. مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, ari (golongan) jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6).

Setelah membacakan ayat-ayat di atas pada air yang sudah disiapkan tersebut hendaklah dia meminumnya sebanyak tiga kali, dan kemudian mandi dengan menggunakan sisa air tersebut. Dengan demikian, insya Allah penyakit (sihir) akan hilang. Dan jika perlu, hal itu boleh diulang dua kali atau lebih hingga penyakit (sihir) itu benar-benar sirna. Hal itu sudah banyak dipraktikkan, dan dengan izin-Nya, Allah memberikan manfaat padanya. Pengobatan tersebut juga sangat baik bagi suami-isteri yang tidak bisa jima‘ (bersetubuh) karena terkena sihir [2].

***

[bersambung]
Catatan kaki

[1] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/24), Shahih Al Bukhari (no. 5765) dan Shahih Muslim (no. 2189), dari ‘Aisyah radhiallahu’anha dan Majmu’Al Fatawa Syaikh Ibnu Baz (III/280)

[2] Lihat Fatawa Ibnu Baaz (III/279), Fathul Majid (hal. 263-264), murajaah dan ta’liq Syaikh Ibnu Baaz cet. Daar Ash Shuma’i tahun 1519H, dan Ash Sharimul Battar fit Tashaddi lis Saharatil Asyraar, karya Wahid Abdussalam Bali (hal. 109-117). Di sana terdapat juga ruqyah yang cukup panjang yang insya Allah sangat bermanfaat. Juga lihat Mushannaf Abdurrazaq (XI/13) dan Fathul Baari (X/233).

___

Disalin ulang dari buku “Doa dan Wirid” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, hal. 431-439, cetakan ke-15, penerbit Pustaka Imam Syafi’i.

Artikel Muslim dot or dot id

Baca juga artikel lainnya yakni Daun bidara dan pengobatan sihir.

Atau artikel Daun bidara adalah daun sidratul muntaha.


Inilah sebagian penjelasan khasiat daun bidara dalam artikel cara pengobatan dari pengaruh sihir dan pengobatan jini.

DAUN BIDARA ADALAH DAUN SIDRATUL MUNTAHA

daun bidara adalah
Daun Bidara adalah daun sidratul muntaha.Sidrotul Muntaha adalah sebuah pohon sidr/ sidroh/ bidara yang menandai akhir langit ke tujuh, sebuah batas dimana makhluq tidak dapat melewatinya.

Berasal dari kata Sidroh dan Muntaha.

Sidroh artinya pohon bidara.
Muntaha artinya tempat berkesudahan (puncak ketinggian).
Sidrotul muntaha berarti pohon bidara tempat berkesudahan (pohon bidara sebagai puncak ketinggian langit ke tujuh).

Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya.

Sidrotul muntaha digambarkan sebagai pohon bidara yang sangat besar, tumbuh mulai langit keenam hingga langit ke tujuh.

Dedaunannya selebar telinga gajah dan buah-buahannya sebesar tempayan besar.

Sidrotul muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah ‘Arsy ALLOH, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluq ciptaan ALLOH.

POHON / DAUN BIDARA ADALAH DI SURGA


ALLOH berfirman,
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri.”
{Q.S. al Waqi’ah (56): 27-28}

DZAT ANWATH ADALAH POHON BIDARA

Abu Waqid al Laitsi (al Harits bin ‘Auf – wafat th. 68 H) berkata,”Kami pergi keluar bersama RosuluLLOH ShollaLLOOHU 'Alaihi Wa sallam menuju Hunain. Waktu itu kami baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam). Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara disebut Dzat Anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kamipun berkata, ‘Wahai RosuluLLOH, buatkanlah untuk kami Dzat Anwath sebagaimana mereka mempunyai Dzat Anwath.’ Maka RosuluLLOH ShollaLLOOHU 'Alaihi Wa sallam bersabda, "ALLOOHU Akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian). Demi ALLOH yang diriku hanya berada di tangan-NYA, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Isroil kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan.” Musa menjawab, “Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti.” (Q.S. al A’roof (7): 138). Kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu."
{H.R. at Tirmidzi 2180, an Nasa-i – Al Kubro 11185, Ahmad 5/218, Ibnu Hibban 6720, Abu Ya’la 1441, Ibnu Abi Syaibah 15/101, ath Thobroni – Al Kabir 3290, shohih}

LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

Syaikh Salim bin 'Ied al Hilali, dalam kitab al Manaahisy Syar'iyyah fii Shohiihis Sunnah an Nabawiyyah (Ensiklopedi Larangan menurut al Qur-an dan as Sunnah - Pustaka Imam as-Syafi'i, 2006, hlm. 3/308-309) berkata:

RosuluLLOH ShollaLLOOHU ‘Alaihi Wa sallam bersabda, "Sesungguhnya orang yang menebang pohon bidara akan dituang api neraka di kepalanya."
{H.R. al Baihaqi 4/117, dari ‘Aisyah RodhiyaLLOOHU ‘Anhuma, shohih}

RosuluLLOH ShollaLLOOHU ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “ALLOH akan menuangkan (air panas) ke atas kepala penebang pohon bidara di dalam Neraka."
{H.R. al Baihaqi 6/141, Mu’awiyah bin Haidah RodhiyaLLOOHU ‘Anhu)

Kandungan Bab:
1. Harom hukumnya menebang pohon bidara.
2. Para ‘Ulama berselisih pendapat tentang larangan menebang pohon bidara kepada beberapa pendapat:
1. Abu Dawud berkata, "Hadits ini cukup ringkas. Artinya barangsiapa menebang pohon bidara yang tumbuh di padang pasir tempat berteduh para musafir dan hewan ternak, tanpa ada kemaslahatan sedikitpun maka ALLOH akan menuangkan air panas ke atas kepalanya di Neraka nanti."
2. Ath Thohawi berpendapat, "Bahwa hadits ini mansukh, sebab Urwah bin az Zubair salah seorang perawi hadits ini pernah menebang pohon bidara untuk diolah menjadi beberapa pintu." (lihat Musykilul Aatsaar (VII/427))
Diriwayatkan dari Hasan bin Ibrohim, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Hisyam bin Urwah tentang hukum menebang pohon bidara. Pada saati itu ia sedang bersandar pada kayu milik Urwah dan berkata, 'Tidakkah engkau perhatikan pintu-pintu dan kusen-kusen ini?' Pintu dan kusen ini terbuat dari pohon bidara milik Urwah. Dahulu Urwah menebang pohon tersebut yang tumbuh di tanahnya dan berkata, 'Tidak mengapa menebang pohon bidara'."
{H.R. Abu Dawud (5241)}
Ath Thohawi berkata, "Urwah seorang yang jujur dan memiliki ilmu yang dalam tidak mungkin meninggalkan hadits yang ia ketahui shohih dari Nabi ShollaLLOOHU ‘Alaihi Wa sallam, kemudian meng’amalkan sesuatu yang bertentangan dengan hadits tersebut, kecuali jika memang demikian hukumnya. Jadi jelaslah apa yang kita sebutkan tadi bahwa hadits ini sudah dimansukhkan."
3. Maka larangan tersebut adalah pohon bidara yang tumbuh di tanah harom. Pendapat ini dipegang oleh as Suyuthi dalam kitab Raf'ul Khudr'an Qat'is Sidr (II/57). Ia berkata, "Menurutku makna yang terkuat adalah larangan menebang pohon sidr yang ada di tanah harom sebagaimana yang tercantum dalam riwayat ath Thobroni."

Syaikh kami (Muhammad Nashiruddin al Albani) menyetujui pendapat as Suyuthi tersebut di dalam kitabnya Silsilah al Ahaadits ash Shohiihah (II/177).
Saya katakan, "Dalam riwayat ath Thobroni di dalam al Ausath (2441) pada hadits ‘Abdulloh bin Hubasyi, 'Yakni pohon bidara yang tumbuh di tanah haram.' Tambahan ini dishohihkan oleh syaikh kami dalam Silsilah al Ahaadits ash Shohiihah (614).
Oleh karena itu mengartikan hadits seperti yang tercantum dalam riwayat tambahan tersebut lebih dikedepankan.
Adapun pernyataan mansukh adalah pernyataan yang keliru. Sebab yang dijadikan hujjah adalah hadits yang diriwayatkan Urwah bukan pendapat atau hasil ijtihadnya.
Kemudian dianalogikan dengan pohon bidara yang tumbuh di padang pasir tempat berteduhnya para musafir dan binatang ternak, ALLOHU A'lam."

DAUN BIDARA DAN MEMANDIKAN JENAZAH

Ummu ‘Athiyyah RodhiyaLLOOHU ‘Anha berkata, “Nabi ShollaLLOOHU ‘Alaihi Wa sallam pernah menemui kami sedangkan kami kala itu tengah memandikan puterinya (Zainab), lalu Beliau bersabda, ‘Mandikanlah dia tiga, lima, (atau tujuh) kali, atau lebih dari itu. Jika kalian memandang perlu, maka pergunakan air dan daun bidara. (Ummu ‘Athiyyah berkata, ‘Dengan ganjil?’ Beliau bersabda, ‘Ya.’) dan buatlah di akhir mandinya itu tumbuhan kafur atau sedikit darinya.”
{H.R. al Bukhori 3/99-104, Muslim 3/47-48, Abu Dawud 2/60-61, an Nasa-i 1/266-267, at Tirmidzi 2/130-131, Ibnu Majah 1/445, Ibnul Jarud 258-259, Ahmad 5/84-85, 4076-4078, Syaikh al Albani – Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah hal 130-131}

DAUN BIDARA DAN WANITA HAIDH

‘Aisyah secara marfu’, “Salah seorang di antara kalian (wanita haidh) mengambil air yang dicampur dengan daun bidara lalu dia bersuci dan memperbaiki bersucinya. Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya seraya menggosoknya dengan gosokan yang kuat sampai air masuk ke akar-akar rambutnya, kemudian dia menyiram seluruh tubuhnya dengan air. Kemudian dia mengambil secarik kain yang telah dibaluri dengan minyak misk lalu dia berbersih darinya.” ‘Aisyah berkata, “Dia mengoleskannya ke bekas-bekas darah.” (H.R. Muslim no. 332 dari ‘Aisyah)

DAUN BIDARA DAN RUQYAH

Daun bidara sangat efektif untuk membantu proses penyembuhan penyakit karena gangguan jin. Ulama Wahab bin Munabih menyarankan untuk menggunakan tujuh lembar bidara yang dihaluskan. Kemudian dilarutkan dalam air dan dibacakan ayat Kursi, surat al Kafirun, al Ikhlash, al Falaq dan an Naas. (Boleh juga dibacakan ayat-ayat al-Qur'an lainnya) Lalu dipergunakan untuk mandi atau diminum. (lihat Mushannaf Ma'mar bin Rasyid 11/13)

Menumbuk tujuh helai daun pohon Sidr (daaun bidara) hijau di antara dua batu atau sejenisnya, lalu menyiramkan air ke atasnya sebanyak jumlah air yang cukup untuk mandi dan dibacakan di dalamnya ayat-ayat al Qur-an. Setelah membacakan ayat-ayat tersebut pada air yang sudah disiapkan tersebut, hendaklah dia meminumnya sebanyak tiga kali, dan kemudian mandi dengan menggunakan sisa air tersebut. Dengan demikian, insya ALLOH penyakit (sihir) akan hilang. Dan jika perlu, hal itu boleh diulang dua kali atau lebih, sehingga penyakit (sihir) itu benar-benar sirna. Hal itu sudah banyak dipraktekkan, dan dengan izin-NYA, ALLOH memberikan manfaat padanya. Pengobatan tersebut juga sangat baik bagi suami yang tidak bisa berhubungan badan karena terkena sihir.

POHON BIDARA DI DUNIA

Kandungan Hasil analisis di India (angka, pertama) dan di Thailand (dalam kurung) merupakan komposisi per 100 g bagian yang dapat dimakan: air 86 (71,5) g, protein 0,8 (0,7) g; lemak 0,1 (1,7) g; karbohidrat 12,8 (23,7) g; Ca 30 (30) m, P 30 (30) mg, vitamin A 70 (50) SI, vitamin C 50-150 (23) mg. Nilai energinya 230 (470) kJ/100 g. Deskripsi Berperawakan pohon atau perdu yang menyemak, tingginya mencapai kira-kira 15 m, tumbuh tegak atau menyebar dengan cabang-cabangnya yang menjuntai; letak rantingnya simpangsiur, berbulu kempa; penumpunya berduri, menyendiri dan lurus (berukuran 5-7 mm) atau berbentuk dimorfik berpasangan, cabang yang kedua lebih pendek dan melengkung, duri kadang-kadang tidak ada; pohonnya selalu hijau atau setengah meranggas. Daunnya tunggal, letaknya berselang-seling, berbentuk bundartelur-jorong sampai bundar-telur-lonjong, berukuran (2-9) cm x (1,5-5) cm, tepinya sedikit beringgit atau rata, berkilap dan tak berbulu pada lembaran sebelah atasnya, berbulu kempa yang rapat, berwarna putih pada lembaran sebelah bawahnya, dengan 3 tulang daun membujur yang nyata; tangkai daunnya 8-15 mm panjangnya. Perbungaannya muncul dari ketiak daun, berbentuk payung menggarpu, panjangnya 1-2 cm, tersusun atas 7-20 kuntum bunga; gagang perbungaan panjangnya 2-3 mm; bunganya berdiameter 2-3 mm, berwarna kekuningan, sedikit harum, gagang bunganya 3-8 mm panjangnya; daun kelopaknya bercuping 5, berbentuk delta, bagian luarnya berambut, bagian dalamnya gundul; daun mahkota 5 helai, sedikit berbentuk sudip yang cekung, terlentik; benang sarinya 5 utas; bakal buahnya beruang 2, tangkai putiknya bercabang dua, cakramnya bercuping 10 atau beralur-alur. Buahnya bertipe buah batu, berbentuk bulat sampai bulat telur, dapat mencapai ukuran 6 cm x 4 cm untuk yang dibudidayakan, dan umumnya jauh lebih kecil untuk yang liar; kulit buahnya halus atau kasar, berkilap, tipis tetapi liat, berwarna kekuningan sampai kemerahan atau kehitaman; daging buahnya berwarna putih, mengeripik (crisp), banyak mengandung sari buah, rasanya agak asam sampai manis, menjadi menepung pada buah yang matang penuh. Bijinya terletak dalam batok yang berbenjol dan beralur tidak beraturan, yang berisi 1-2 inti biji yang berwarna coklat.

MANFAAT DAN KHASIAT POHON BIDARA

Buah bidara dari kultivar unggul dapat dimakan dalam keadaan segar, atau diperas menjadi minuman penyegar, juga dikeringawetkan, atau dibuat manisan. Di Asia Tenggara, buah yang belum matang dimakan bergara,m. Pernah dilaporkan bahwa buah bidara juga direbus dan menghasilkan sirop. Di Indonesia, daun mudanya diolah sebagai sayuran; daun-daunnya dapat pula dijadikan pakan. Di India, pohon bidara merupakan salah satu dari beberapa jenis tanaman yang digunakan untuk pemeliharaan serangga lak; ranting-ranting yang terbungkus oleh sekresi serangga itu dipungut untuk diproses menjadi sirlak. Kulit kayu dan buahnya menghasilkan bahan pewarna. Kayunya berwarna kemerahan, bertekstur halus, keras, dan tahan lama, dan digunakan sebagai kayu bubut, alat rumah tangga, dan alat-alat lain. Buah, biji, daun, kulit kayu, dan akarnya berkhasiat obat, terutama untuk membantu pencernaan dan sebagai tapal untuk luka. Di Jawa, misalnya, kulit kayunya digunakan untuk menyembuhkan gangguan pencernaan, sedangkan di Malaysia bubur kulit kayunya dapat dimanfaatkan untuk obat sakit perut.

Sumber: Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy al-Bantani http://baitulkahfitangerang.blogspot.com

Baca artikel tentang daun bidara dan sihir.

Inilah artikel tentang daun bidara adalah daun sidratul muntaha dibahas secara umum.

DAUN BIDARA DAN PENGOBATAN SIHIR


daun bidaraDaun Bidara dan kaitannya dengan sihir, ada dua bentuk penanggulangan. Pertama, tindakan prevensi untuk menghindari sihir, dan kedua, pengobatan bagi yang terkena sihir.

Sebelum Terkena Sihir

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghindarinya:

1. Berusaha melaksanakan kewajiban, menjauhi larangan, dan bertaubat dari setiap maksiat. Semua aktivitas ini akan menjadi sebab Allah melindunginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan beberapa pesan kepada Ibnu Abbas, diantaraya:

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu jumpai Dia di hadapanmu…” (HR. Ahmad 2669, Tirmidzi 2516, dan dishahihkan al-Albani)

Makna hadis:

– Jagalah Allah : Jaga aturan Allah, laksanakan kewajiban dan hindari yang diharamkan.

– Kamu jumpai Dia di hadapanmu: Allah akan menolongmu dalam setiap keadaan yang engkau butuhkan.

2. Banyak membaca Alquran atau dzikir lainnya. Di antarannya adalah dzikir pagi petang dan dzikir sebelum tidur. Jadikan aktivitas ini sebagai wirid harian.

Orang yang rajin berdzikir, membaca Alquran, hatinya akan senantiasa hidup. Lebih dari itu, Allah menjanjikan orang yang membaca dzikir pagi petang, dia akan mendapatkan perlindungan dari-Nya.

3. Makan tujuh kurma Madinah setiap pagi. Ini berdasarkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من أكل سبع تمرات مما بين لابتيها حين يصبح، لم يضره سم حتى يمسي

“Siapa yang makan tujuh kurma dari daerah ini (Madinah) ketika pagi, maka tidak akan terkena bahaya racun, sampai sore.” (HR. Muslim 2047).

Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من اصطبح بسبع تمرات عجوة لم يضره ذلك اليوم سم ولا سحر

“Siapa yang sarapan dengan 7 kurma ajwah, maka racun dan sihir tidak akan membahayakannya di hari itu.” (HR. Bukhari 5779 dan Muslim 2047).
Apabila Terkena Sihir

Kemudian, jika ada orang yang mengalami ujian dengan terkena sihir, hendaknya dia mengharap pahala kepada Allah atas musibah ini, dan berusaha mengobatinya. Pengobatan sihir bisa dilakukan dengan dua cara:

Cara Pertama, dengan ruqyah dan daun bidara yang sesuai syariat


Di antara metode yang pernah dipraktikkan dan itu mujarab adalah

1. Mandi dengan air yang telah dicampur daun bidara

Persiapan: Siapkan 7 daun bidara hijau, dan seember air yang cukup untuk mandi.

Caranya:

a. Haluskan daun bidara dengan ditumbuk, dan campurkan ke dalam air yang telah disiapkan.

b. Baca ayat-ayat berikut di dekat air (di luar kamar mandi):

1) Baca ta’awudz: a-‘uudzu billahi minas syaithanir rajiim

2) Ayat kursi (QS. Al-Baqarah: 255)

3) QS. Al-A’raf, dari ayat 117 sampai 122

4) QS. Yunus, dari ayat 79 sampai 82

5) QS. Taha, dari ayat 65 sampai 70

6) Surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas

7) Minumkan air tersebut di atas 3 kali (bisa gunakan gelas kecil)

8) Gunakan sisanya untuk mandi.

9) Cara seperti ini bisa dilakukan beberapa kali, sampai pengaruh sihirnya hilang.

(Metode ini disebutkan oleh Dr. Said bin Ali bin Wahf al-Qohthani dalam buku beliau Ad-Dua wa Yalihi Al-Ilaj bi Ar-Ruqa, Hal. 35).


2. Membaca ruqyah kemudian ditiupkan

Caranya:

a. Baca surat Al-Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas.

b. Ulangi sebanyak 3 kali atau lebih

c. Baca ayat di atas, sampil ditiupkan dan diusapkan ke bagian tubuh yang sakit.

d. Baca doa-doa ketika menjenguk orang sakit.


Cara Kedua, menghancurkan simpul sihir


Cara kedua ini adalah metode menghilangkan sihir yang paling mujarab. Hanya saja, cara kedua ini agak sulit dilakukan, karena harus diketahui simpul sihir yang ditanam oleh dukun. Jika simpul sihir ini bisa dihancurkan maka pengaruh sihir akan hilang total. Simpul ini bak pangkalan militer bagi si dukun untuk menyihir objek sasaran.

Sebagaimana hal ini pernah dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Berikut redaksi kisah yang lebih lengkap. Redaksi ini disebutkan oleh At-Tsa’alibi dalam tafsirnya dan dinukil oleh Ibnu katsir:

Dari Ibnu Abbas dan A’isyah radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

Dulu ada seorang remaja Yahudi yang menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, datanglah beberapa orang Yahudi menemui anak ini. Sampai akhirnya si remaja ini mengambil rontokan rambut kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan potongan sisir rambut, dan dia berikan ke orang Yahudi. Akhirnya, mereka gunakan rambut ini sebagai bahan untuk menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelaku sihir adalah seorang Yahudi Bani Zuraiq, namanya Labid bin A’sham. Simpul sihir dari rambut tersebut di tanam di sumur milik Bani Zuraiq, namanya sumur Dzarwan.

Karena pengaruh sihir ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh sakit, sampai rambut beliau mudah rontok. Beliau seolah-olah melakukan sesuatu dengan istrinya padahal tidak melakukan apapun. Sampai akhirnya beliau bermimpi, beliau melihat ada dua malaikat yang datang. Yang satu duduk di dekat kepala beliau dan yang satu duduk di dekat kaki beliau.

Malaikat pertama bertanya, “Apa yang terjadi dengan orang ini?” “Dia tersihir.” Jawab Malaikat kedua. “Siapa yang menyihir?” Tanya malaikat pertama. “Labid bin A’sham orang Yahudi.” Jawab malaikat kedua. “Dengan apa dia disihir?” Jawabnya: “Dengan rambut dan potongan sisir.” “Di mana simpul sisirnya?” Jawabnya: “Dibungkus kulit mayang kurma, ditindih batu, di dalam sumur Dzarwan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun. Kemudian beliau berangkat ke sumur Dzarwan di Bani Zuraiq bersama Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awam, dan Ammar bin Yasir.

Ali diperintahkan untuk mengambil batu itu, untuk mengeluarkan bungkus simpul sihir. Ketika itu, Allah menurunkan dua surat Al-Muawidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Sebelumnya, Ali bin Abi Thalib diperintahkan untuk membaca dua surat tersebut. Ternyata di dalamnya ada beberapa helai rambut dan potongan sisirnya. Di sana juga ada ikatan buntalan jumlahnya ganjil. Selanjutnya benda itu dimusnahkan dan sumurnya ditutup.

Seketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung terasa ringan dan hilang pengaruh sihirnya. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, beliau sampaikan kepada istrinya:

يَا عَائِشَةُ، كَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الحِنَّاءِ، أَوْ كَأَنَّ رُءُوسَ نَخْلِهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ

“Hai Aisyah, air sumur itu seperti terkena daun pacar (inai). Atau seolah pangkal mayang kurma seperti kepala setan.” (HR. Bukhari 5763)

Imam Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad mengatakan:

Cara menyembuhkan sakit ini ada dua, di antaranya adalah mengeluarkan sumber sihir dan menghancurkannya. Ini adalah cara yang paling sempurna. Sebagaimana terdapat riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berdoa kepada Allah tentang sumber sihir yang menimpa beliau, kemudian Allah tunjukkan bahwa pangkalnya ada di dalam sumur, dengan rambut dan potongan sisir dibungkus mayang kurma jantan. Ketika benda itu dikeluarkan, pengaruh sihir itu langsung hilang, seolah beliau baru terbebas dari ikatan. Inilah metode yang paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir. Seperti halnya menghilangkan sumber penyakit dalam tubuh (Zadul Ma’ad, 4:113)

Referensi:

Ad-Dua wa Yaliihi Al-‘Ilaj bi Ar-Ruqa min Al-Kitab wa As-Sunnah, Dr. Said bin Wahf Al-Qahthani, Kementrian Urusan Islam & Dakwah, KSA.

Alam As-Sihri wa Sya’wadzah, Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dar An-Nafais.

Sumber: Ustadz Ammi Nur Baits https://konsultasisyariah.com/14637-obat-sihir.html

Baca juga artikel tentang penjelasan arti daun bidara adalah...

Inilah artikel tentang sihir dan cara pengobatannya secara Islami dengan daun bidara.

Popular Posts